GuidePedia

0

 “Anak Emas” Gubernur Ben Mboi itu Menyusul Warganya ke Rumah Bapa

                 Nama Letkol (Purn) Simon Petrus Soliwoa menjadi nama ikonik bagi sebagian besar rakyat Flores Timur, Lembata, Adonara dan Solor. Ya, pria kelahiran Bajawa, Ngada itu adalah mantan Bupati Flores Timur, periode 1983-1989, yang meninggalkan jejak nama nan harum dan bermartabat.

                 Saat saya tinggal setahun di belakang kaki gunung Ile Mandiri, Larantuka, tahun 2000-2001, saya begitu terkejut bertemu beberapa orang tua di Lewoleba, Badu, Riangkotek, Riangkemie, Lewohala Mudakeputu, Waimana, Welo hingga Adonara yang bernostalgia soal kepemimpinan Simon Soliwoa yang begitu membekas di hati mereka.

                 Ketika tahu asal saya dari Bajawa, mereka spontan menyatakan rindu kepemimpinan Simon Soliwoa yang benar-benar mencintai “Tana Nagi” meski  bukan putra daerah. “Dia bukan orang Nagi, tapi dia benar-benar mencintai kami dan memajukan Flores Timur,” tutur seorang guru terpandang di Wailolong, Badu ketika itu Bapak Petrus Belawa Daton, ayahanda Romo Venus Daton, Pr dan jurnalis senior Apolo Daton di Denpasar.

                 Setiap saya singgah ke rumah Pak Petrus Daton, dia selalu bilang ke istrinya Mama Maria Leto Wulan……”Mama kasih  anak kita itu minum kopi. Dia orang Bajawa pasti seperti Bupati Simon Petrus yang selalu suka minum kopi asli dalam setiap kunjungan ke desa-desa,” ungkapnya.

                 Itulah ekspresi rasa respek, hormat dan cinta rakyat kepada sosok mantan pemimpin daerah mereka yang dicintai. Mereka kenal baik pemimpinnya hingga makanan dan minuman kesukaannya. Padahal di jaman orde baru, seorang kepala daerah ibarat bangsawan besar yang cuma dikenal namanya. Sosok yang tinggi-anggun jauh dan tak tersentuh di rumah jabatan. Saya sebagai generasi muda cuma terkesima dan kagum dengan kisah ketokohan Simon Petrus Soliwoa yang belum saya ketemu langsung.

                 Suatu waktu, saya menghabiskan malam di Posto, Larantuka dalam diskusi “berat-ringan” dengan pemerhati pendidikan dan seorang pastor projo keuskupan Larantuka, Rm Edu Djebarus,Pr, asal Manggarai.

                 Romo Edu bersemangat mengurai isi bukunya soal sejarah pendidikan di Bali Nusra sejak jaman Belanda. Makin larut malam, saya menahan kantuk untuk mendengar hal-hal baru kajian dari Romo Edu yang mengagetkan saya…. Dulu pendidikan di Flores jauh lebih maju dari Bali tapi sekarang justru terbalik. Coba semua pemimpin di Flores seperti Bupati Simon Petrus Soliwoa mungkin ceritanya lain,” paparnya yang bikin saya kaget.

                 “Bukankah Pak Simon itu latar belakang tentara bukan seorang guru? sergah saya spontan.

                “Ehhh kamu di Bajawa tuh ada hutan kah? Tanya Romo Edu penuh selidik tak menjawab pertanyaan saya. Dan, saya pun makin bingung.

                “Kok Romo omong soal hutan,” tanya saya penasaran.
                “Itu Bupati Simon Petrus kamu punya orang dari Bajawa yang menangis sedih sekali kalo ada warga yang bakar hutan. Padahal di Bajawa hanya ada hutan bambu,” ucap Romo Edu dengan logat Manggarai yang khas.

                Saya pun tersenyum sembari membatin….Hmmm Romo Edu  sengaja alihkan topik biar saya tidak mengantuk.

                Romo Edu melanjutkan pembicaraannya yang bikin saya terperangah….”rata-rata pemimpin kita di Flores lebih berpikir bagaimana menghabiskan anggaran daerah dalam berbagai proyek. Mereka jarang berpikir bagaimana mendorong masyarakat berpikir maju untuk masa depan mereka dan anak cucu nanti. Mereka terjebak berpikir untuk keuntungan sekarang saja. Beda dengan gaya kepemimpinan Bupati Simon Petrus dulu yang tegas mendidik kesadaran warga untuk membangun daerahnya,” pungkasnya.  

 Anak Emas Gubernur Ben Mboi

                 Lanjut Romo Edu, “pantas saja Bupati Simon Petrus Soliwoa itu menjadi bupati kesayangan Gubernur NTT Ben Mboi. Karena Pak Ben Mboi itu suka dengan bupati yang ikut cara kerjanya yang benar-benar rutin turun ke lapangan, sering menemui warganya, kenal peta wilayah daerah-daerah pelosok dan situasi masyarakat di tiap daerah.”

                 Mungkin jaman sekarang disebut gaya “blusukan” yang sudah “berselingkuh tipis” dengan spirit pencitraan akibat dorongan batin “hipernormal” pemimpin milenial.

                 Ketika merantau ke Denpasar, 19 Juni 2003, saya bekerja sebagai korektor di Harian Umum Fajar Bali. Saya dibimbing  untuk punya kepercayaan diri “secara paksa tapi halus” oleh wartawan senior gila tulis Om Agus Thuru. “Kita orang Flores itu kalo tulis opini dan feature tidak perlu konsep lama-lama. Pokoknya duduk depan komputer dan langsung tulis. Pasti tulisan itu bagus dan mendalam karena kita suka membaca,” ucapnya.

                Lalu Om Agus menugaskan saya untuk menulis sebuah artikel bersambung untuk pertama kalinya soal sejarah gading di pulau Nusa Nipa, Flores. Saya pun menyerap suntikan semangat Om Agus untuk mulai menulis….Tiba-tiba saya dikejutkan dengan suara teriakan Om Agus.

                “Om Beny, kau ke sini dulu,” panggil Om Agus.

                “Ini kau kenal dulu dengan Windy,” ucap Om Agus seraya menunjuk seorang wanita berambut panjang yang melempar senyum ramah kepada saya.

                Sejurus kemudian rasa kaget meliputi saya ketika Om Agus membuka identitas wanita di sampingnya, “Ini putri bungsu Om Simon Petrus  Soliwoa mantan bupati Flotim,” jelasnya.

                Spontan saya menyodorkan tangan dan membungkuk badan penuh hormat. “Windy, nama bapakmu begitu harum dan masih sangat dihormati sampai sekarang oleh masyarakat di Larantuka. Saya bangga sekali,” ungkap saya taksim.

                 Sejak saat itulah saya berteman akrab dengan Windy yang selalu bercerita kesehariannya dengan ayahandanya. Sayang saya cepat mengundurkan diri dari Fajar Bali dan lebih memilih bekerja di media group Pak Oles Center dan akhirnya tak sempat memenuhi ajakan Windy untuk bertemu dengan ayahnya. Terakhir, Windy pindah ke Kupang dan menikah. Tak lama kemudian, saya mendengar kabar duka, Windy meninggal dunia saat melahirkan.

                 Saya hanya bertemu Pak Simon dalam sebuah acara paguyuban etnis Ikatan Keluarga Ngada (Ikada) di Bali masa kepemimpinan Om Agus Lobo. Saat itu Pak Simon berpesan agar para pengurus Ikada jangan sungkan bertamu ke rumahnya Perum Kuta Permai. Ia pun berharap tetap ada komunikasi antara yunior dengan senior. “Jangan sampai putus komunikasi karena kami sudah tua tidak bisa ke mana-mana. Tapi kami selalu menerima kunjungan kalian, ketua dan pengurus Ikada. Jangan lupakan para orangtua,” harapnya ketika itu.

                 Tanggal 21 Agustus 2010, saya diplot sebagai ketua panitia temu pisah Pak Marianus Sae mantan ketua Ikada Bali yang terpilih sebagai Bupati Ngada berpasangan dengan Bapak Paulus Soliwoa, adik kandung Pak Simon Soliwoa. Sayang acara temu pisah yang turut dihadiri Pak Simon di aula PWI itu tak  bisa saya ikuti karena sore, mama saya menghembuskan napas terakhir di RS Sanglah Denpasar. Jadi tak kesampaian niat untuk bertemu Pak Simon.

                 Akhirnya ada moment pertemuan monumental saya dengan Pak Simon di rumah duka RS AD Denpasar, 15 Agustus 2014. Saat itu kami melayat tokoh masyarakat NTT yang meninggal di puncak karir Bapak Laurensius Bahang Dama, Ketua Komisi V DPR RI.

                 Saat melihat Pak Simon duduk sendiri, saya mengambil tempat di sampingnya dan memperkenalkan diri.

                Ternyata Pak Simon masih kenal sama Kakek saya Markus Deru Pay di Kurubege, Ende saat dia bertugas sebagai Dandim Ende sebelum menjadi Bupati Flotim. Kebetulan istrinya dari Bandung, satu asal dengan nenek saya Nyi Omoh, yang sering bertandang ke rumah dinas jika dipanggil istrinya untuk pijat dan “kerok” masuk  angin.

 Entah mengapa, sebuah keberanian keluar dari hati saya.  

“Bapa saya mohon maaf sekali mungkin bicara agak lancang,” ucap saya dengan segan.
Pak Simon menatap mata saya. Lalu saya menggenggam tangannya dan kami seperti dua pria yang serasa punya keakraban di masa lalu.

“Bapa…dulu saya jatuh cinta dengan anak Bapa, Windy….

Tiba-tiba suara Pak Simon keras menggelegar….

“Ha, kenapa kau tidak ketemu langsung saya? Hardiknya.

Saya benar-benar kaget dapat respon di luar dugaan saya. Padahal saya sebatas bernostalgia.

“Saya segan sekali waktu itu untuk ketemu Bapa,” ucap saya terbata-bata.

Pak Simon langsung bicara lugas, “Kalo tahu saat itu saya setuju. Kenapa kamu tidak ketemu saya,” sergahnya menggenggam erat tangan saya.
Saya langsung salah tingkah dan diam tercekat. Sekelebat muncul bayangan sahabat satu kamar kost dulu asal Adonara, Om Matias Sira Leter (kini ketua yayasan persekolahan St Fransiskus Bandar Lampung), yang mendukung keras saya untuk ketemu Pak Simon.

 Di kehidupan yang sementara ini saya cuma bernostalgia kenangan pribadi soal sosok  legend sesepuh asal Ngada yang pernah saya jumpai. Yang abadi adalah kenangan. 

Siapakah Simon Petrus Soliwoa?

 Nama Lengkapnya adalah Simon Petrus Soliwoa. Biasa disapa Pak Simon. Ia lahir di Bajawa dari 8 (delapan) bersaudara buah cinta pasangan Dominikus Soliwoa dan Rosalia Ega Lae. Asal Langa, Bajawa.

                 Mantan Bupati Flores Timur Simon Petrus Soliwoa dan mantan Ketua DPRD NTT itu meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Sanglah, Denpasar Bali, Sabtu (10/04/2021).

 Wakil Bupati Flores Timur, Agustinus Payong Boli menyampaikan rasa duka mendalam mewakili rakyat Flores Timur.

 “Semoga amal baktinya selama menjadi Bupati Flores Timur, membangun daerah, memajukan kesejahteraan masyarakat, melapangkan jalannya ke Surga,” ujarnya kepada wartawan.

 “Hormat dan terima kasih banyak atas seluruh pengabdian beliau bagi daerah dan masyarakat Flores Timur,” tambahnya.

 Ya, Pak Simon Petrus Soliwoa, salah satu putra terbaik bumi Flobamora “kembali ke rumah Bapa” menyusul beberapa warga Flotim yang meninggal karena bencana alam. Tentu meninggalkan duka yang amat dalam bagi masyarakat NTT.

Selamat jalan Bung Simon, semoga ditempatkan Tuhan dalam kemuliaan perjamuan surgawi bersama para orang kudus. RIP (Beny Ule Ander)



Posting Komentar

Emoticon
:) :)) ;(( :-) =)) ;( ;-( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.

Aktivitas Warga Ikada Bali

 
Top