Oleh: Alfred B. Jogo Ena*
![]() |
Sumber foto: Marianus dan latar belakang hutan di kebun hasil karya tangannya. Diambil dari google.co.id |
Gegap gempita pesta demokrasi di tanah air
pada umumnya, dan di NTT khususnya semakin ramai
dari hari ke hari. Ramai karena masing-masing Tim Sukses berusaha menampilkan
yang terbaik dari jagoannya. Itu sangat positif, dengan tetap menjaga
batas-batas yang tidak semestinya terhadap pasangan lain. Fokus pada jagoan
sendiri justru selalu memberi energi lebih untuk terus bekerja demi terpilihnya
sang jagoan. Menurut saya baik, sebagai sebuah kompetisi yang terbuka dan
transparan tanpa harus melakukan dehumanisasi, perendahan martabat atau harga
diri jagoan lain. Itulah hakikat demokrasi.
Dalam
tulisan singkat ini, saya tidak akan menulis tentang strategi pemenangan karena
itu ranahnya tim sukses. Sedangkan saya tidak termasuk tim sukses manapun,
terlebih lagi saya tidak memiliki KTP NTT dan tidak mempunyai hak pilih. Saya
akan menulis sedikit tentang Pak Marianus Sae (MS) sejauh yang saya ketahui
dari berbagai sumber.
Saya
hanya ingin mengangkat sebuah fenomena lain yang mungkin luput, meski sudah
disinggung oleh yang lain. Apa itu? Salah keunggulan yang sudah dilakukan oleh
MS adalah ketekunannya dalam menanam ribuan pohon di kebunnya sendiri. Dan
dengan pengalaman itu MS juga mengajak warga lain (dalam kapasitasnya sebagai
seorang Bupati) untuk menanam pohon.
Saya
tidak melihatnya dari sudut pandang ekonomis yang dihasilkan dari pohon-pohon
itu bisa nanti dipanen. Saya mencoba melihatnya dari sudut pandang ekologis dan
teologis (secara awam) menurut kaca mata saya.
MS
dengan sadar (sebagai pribadi dan pemimpin) telah mewujudkan peransertanya
dalam merawat ekologi sebagaimana yang diserukan oleh Paus Fransiskus dalam
Ensiklik Laudato Si (Terpujilah Engkau ya Tuhanku, yang diambil dari Seruan
Santo Fransiskus Asisi). Paus mengajak seluruh umat manusia untuk memandang ibu
bumi (yang kita kenal dengan ibu pertiwi) sebagai “saudari, rumah kita
bersama.” Paus mengajak kita untuk tidak memerlakukan ibu pertiwi dengan
semena-mena melalui ekspoitasi yang merusak tata keindahan, tata keselamatan
seluruh ekosistem yang berada di atas ibu pertiwi.
Salah
satu cara menghargai ibu pertiwi yang mulai menua ini adalah dengan menanam dan
terus menanam pohon kehidupan (sebagai panggilan pertobatan kita). Dan MS sudah
menunjukkan peran itu dengan teladannya sendiri, dengan menanamnya di kebunnya
sendiri. Lalu kalau MS menyerukan orang lain melakukan yang sama berarti tidak
saja bertindak NATO (No Action Talk Only) tetapi dia sudah berbuat untuk
dirinya sendiri dan untuk orang lain. MS sudah menunjukkan teladan untuk
menahan diri dari keserakahan untuk merusak ibu bumi dengan merawatnya tetap
cantik. Perawatan ibu bumi untuk tetap cantik ini, akan membuat manusia ikut
cantik dan sehat.

*)Penulis Buku, Alumni Universitas Sanata Dharma dan Seminari St. Yoh. Berchmans mataloko.
Salam dari Kaki Merapi, 16 Januari 2018
Salam dari Kaki Merapi, 16 Januari 2018
Posting Komentar