GuidePedia

0

Setiap akhir tahun  dan awal tahun masyarakat  Ngada, khususnya  yang bermukim  di  Kecamatan Aimere, Bajawa, Golewa, Bajawa Utara, Jerebu’u, Inerie, Golewa Barat dan Golewa Selatan merayakan pesta adat Reba. Pesta Reba menggambarkan  suatu tradisi  masyarakat Ngada sebagai pedoman untuk berinteraksi dalam komunitas sosial maupun interaksi dengan lingkungan alam sekitarnya.

Upacara Reba  sangat istimewa bagi masyarakat Ngada, khususnya etnis Bajawa karena  merupakan upacara yang sangat penting berkaitan dengan pertanian dan kehidupan sehari-hari. Maka Reba disebut sebagai pesta syukur atas hasil panen dan pesta penuh refleksi terhadap jati diri. Pesta Reba  juga menjadi momentum bagi masyarakat etnis Bajawa untuk  mengenang  kembali kisah perjalanan nenek moyang dari Sina One (India Belakang)  pada jaman dahulu.

Reba  berlangsung  mulai  akhir Desember (mulai 26 Desember)  dan berakhir pada  pertengahan Pebruari  tahun berikutnya. Masyarakat Kecamatan Jerebuu dan Inerie  merayakan Reba  mulai 26 Desember  dan berakhir pada 29 Desember. Lalu menyusul  masyarakat lainnya  yang merayakan Reba mulai Januari  sampai Pebruari. Misalnya tahun 2017 ini, Reba akan diawali  di Bena dan sekitarnya  pada 26 (atau 27) Desember yang disebut Reba Bena kemudian disusul pada 27 (atau 28) Desember di Kampung Watu  dan sekitarnya yang disebut Reba Watu. Selanjutnya Reba di tempat lannya  akan dilaksanakan pada Januari dan Pebruari 2018.

Menurut  penuturan  para tua adat  di kampung Maghilewa dan Watu  saat  saya masih  sekolah dasar (1969)  dimana upacara  Reba  dirayakan secara meriah,  Bena di Kecamatan Jerebu’u   adalah pusat dari budaya Reba (mori Kepo Wesu). Maka  Reba harus selalu dimulai dari Bena kemudian  disusul dengan Reba Watu  di Kecamatan Inerie. Reba  sangat berkaitan erat dengan  kisah  kehidupan  tokoh Sili. Ia  dipercaya sebagai peletak dasar dari budaya Reba. Hal ini terungkap pada ungkapan “Sili  ana wunga, nuka pera gua” (Sili  yang pertama  mengajarkan).

Syarat Makna Sosial

Budaya Reba  syarat  dengan nilai budaya. Itu dapat dipahami  dalam upacara Su’i  Uwi dan O Uwi. Nilai budaya yang  terkandung dalam budaya Reba  adalah nilai sosial, nilai ketabahan dan harapan, nilai kepemimpinan, nilai historis, nilai perdamaian dan  nilai moral.

Nilai sosial terlihat dari aksi nyata masyarakat yang mempersiapkan reba  sebagai pesta bersama. Dulu masyarakat  kecamatan Aimere (sebelum dimekarkan)  terkenal tidak punya sawah. Tetapi mereka punya kelapa dan arak. Mereka melakukan  perjalanan “dhagha” (barter)  ke Soa yang terkenal penghasil padi. Barter padi dengan  kelapa dan arak terjadi  sambil  mengundang  sahabat (ngo’e) untuk  Mo’u Maki Reba ( ikut merayakan reba).

Nilai sosial lainnya  terlihat  saat Reba, siapa saja  yang datang, dikenal atau tidak dikenal, diundang atau tidak diundang  pasti akan diterima  dengan  senang hati.  Mereka  akan dijamu makan bersama  dan minum minuman khas “moke”. Reba  identik dengan “maki reba” (nasi) dan  “tua reba” (arak).

Bahkan saat  reba menjadi  kesempatan bagi  anak muda yang masih lajang dan gadis untuk  saling naksir  (papa ghiri). Apa bila cocok  maka  biasanya  setelah Reba  akan dilaksanakan upacara  tunangan (Sezu/beret ere oka pale)  dan pada Reba tahun berikutnya  masuk minta  dengan ditandai  “Idi Nio Manu” (membawa kelapa dan ayam/Zeza) simbolisasi dari saling jatuh cinta.

Nilai Ketabahan dan Harapan

Reba  syarat dengan nilai ketabahan dan harapan. Ajaran dalam  Su’i  Uwi umumnya mengajarkan  nilai ketabahan dan harapan. Demikian juga ungkapan-ungkapan dalam  O Uwi  juga  mencerminkan nilai  ketabahan dan harapan. Misalnya  kalau gagal panen, mereka diajarkan untuk tabah  dan berharap tahun berikutnya  akan mengalami panen berlimpah. Gagal dalam pekerjaan, dalam usaha bahkan dalam cinta  diajarkan supaya tidak putus asa dan berharap tahun berikutnya  akan  mengalami peruntungan. Bahkan untuk kematian  sanak keluarga Reba mengajarkan untuk tidak larut dalam kesedihan  dan selalu berharap bahwa  mereka yang telah meninggal dunia telah diterima oleh leluhur dan oleh Dewa Zeta (Tuhan).

Nilai Magis

Reba  tak lepas dari  nilai magis. Rangkaian upacara menjelang  Reba maupun  saat reba dan sesudah Reba  juga penuh dengan  nilai-nilai magis. Misalnya  membersihkan  rumah leluhur (keka lela), membawa sesajian ke tanah pusaka (uma moni). Bisanya  menjelang Reba  seluruh kerusakan pada ornament budaya  dibetulkan atau diperbaiki.

Misalnya  atap rumah adat (Sa’o Meze)  dari alang-alang yang bocor  diganti dengan alang-alang baru. Atap Ngadhu (kayu pemali lambing leluhur laki-laki)  yang rusak  diperbaiki. Atap Bhaga (rumah kecil lambing leluhur perempuan)  yang rusak juga diganti.  Selain itu  membersihkan   kuburan leluhur (watu lanu atau ture).

Nilai Kepemimpinan

Pada saat Reba  nilai kepemimpinan benar-benar dihidupkan  baik pada saat Su’I Uwi  maupun pada saat O Uwi. Pada saat Su’I  Uwi, orang yang dituakan  dalam  rumah  adat  memimpin upacara. Ia  yang akan memberikan wejangan-wejangan, nasihat-nasihat  untuk hidup lebih baik  di tahun akan datang, untuk  baik dengan semua orang (modhe ne’e soga woe), lembut dengan siapa saja (meku ne’e doa delu). Segala kekeliruan  agar tidak diulang kembali  di tahun akan datang.

Dalam ritual O Uwi, kepemimpinan  diwujudkan  dalam bentuk memimpin jalannya  O Uwi  agar  seiring sejalan, selaras dan harmonis. Maka  upacara O Uwi  dikomando  oleh beberapa orang  yang berada di tengah lingkaran orang  untuk memainkan perannya  sebagai  pembawa  syair (So’u). Biasanya  terdiri dari tiga orang dan orang yang di tengah sebagai pengendali (go bo)  dan dua orang di kiri kanan  sebagai pelengkap (lipi). 

Dengan kepemimpinan para So’u ini  maka  peserta lainnya  yakni  penyair perorangan (dha’o)  dan  semua peserta yang menjawab “ O Uwi” dan  yang membawakan teriakan  gembira penuh kritik social (erelele)  menjadi satu kesatuan yang harmonis.

Nilai Historis

Nilai historis  dipegang teguh  diwujudkan dengan melaksanakan  upacara reba itu sendiri  yang adalah warisan leluhur  turun temurun. Diyakini kalau tidak melaksanakan Reba  maka  leluhur akan  marah  dan biasanya  dalam bentuk kegagalan demi  kegagalan.

Nilai historis berikutnya  adalah saat Su’I  Uwi  diperdengarkan lagi kisah perjalanan  leluhur dari Sina One (India Belakang).  Konon masyarakat Ngada (etnis Bajawa)  berasal dari India Belakang   yang berlayar  ke Jawa, menyusuri pulau-pulau Bali sampai Raba, kemudian sampai ke Sumba (Wio)  dan mendarat di Tiwu Lina (Aimere).

Nilai Perdamaian

Sebelum pesta Reba  biasanya  mereka yang masih tersangkut  dengan berbagai masalah  harus diselesaikan. Misalnya  ada sengketa  tanah  harus  diselesaikan sebelum Reba. Ada masalah belis (Ngalu Ana)  juga harus  diselesaikan sebelum Reba tiba. Mereka yang  tidak saling sapa  harus menyelesaikan  masalah mereka   dan  agar saling sapa. Singkatnya  sebelum Reba maupun saat Reba adalah momentum untuk berdamai satu sama lain.

Nilai Moral dan Ajaran Hidup

Budaya Reba memiliki nilai moral dan ajaran hidup  yang tinggi. Bahwa manusia  harus hidup baik, sesuai dengan  cara hidup para leluhur, memegang teguh ajaran leluhur dan selalu sadar bahwa  milik orang punya  adalah orang punya  dan milik kita adalah milik kita, jangan saling mencaplok (go ngata go ngata, go nga’o  go nga’o). Bahwa hidup  harus  saling membantu (papa laka), saling mendukung (papa dho’o), saling mengasihi (papa mesu).

Terancam Punah?

Upacara  Reba tidak ramai lagi  seperti duapuluh  atau tiga puluh tahun lalu. Reba  kini hanya sebatas seremonial  dalam rumah adat (Reba  One Sa’o) dan tidak lagi  menjadi seremoni  penuh nilai  di tengah kampung (Reba Ana Loka/Kisa Loka). Generasi  bapak  saya  sangat menguasai syair-syair Reba  dan menjalankan budaya Reba secara keharusan. Generasi saya  sudah mulai jarang menguasai  seremoni Reba  terutama  kemampuan  merangkai syair-syair  bernilai sastra  daerah. Apa lagi generasi anak-anak  di bawah saya  mungkin sudah  gelap gulita, tidak tahu apa-apa.

Pada hal, upacara Reba merupakan  suatu budaya yang memegang peranan penting  dalam tradisi orang Bajawa dan menunjukkan  jati diri Orang Bajawa sebagai “Masyarakat Berbudaya”. Jati diri orang Bajawa yang memegang teguh nilai-nilai luhur warisan leluhurnya. Maka perlu dijaga, dilestarikan agar nilai-nilai luhur  yang menjadi inti  ajaran  tidak punah.  


Peran pemerintah dalam melestarikan  budaya Reba sangat penting.  Sebab  Reba sesungguhnya adalah  aspek budaya  yang cukup potensial  untuk dijadikan  salah satu asset  pariwisata. Kekuatan Pariwisata  Ngada  sesungguhnya ada pada  budaya, alam, bahari, tirta dan religi.

Gerakan pewarisan  mutlak harus dilakukan, tentu  harus melalui regulasi hukum berupa Peraturan  Daerah (Perda)  dan didukung  anggaran dari  APBD. Tanpa Perda dan dukungan APBD, gerakan pewarisan budaya  hanya  sebatas omong di bibir belaka.***agust g thuru




*) Tulisan ini bukan untuk diperdebatkan tetapi untuk didiskusikan agar saling melengkapi. Sumber tulisan ini  adalah  “po boro pia pata” (tutur dari beberapa orang) saat saya masih SD Kelas VI (1969) di Maghilewa, Desa Inerie dan Watu (Desa Sebowuli) Kecamatan Inerie. (Foto ilustrasi ini saya ambil dari berbagai sumber. Mohon ijin bagi kepada yang membuat foto ini). 

  


Posting Komentar

Aktivitas Warga Ikada Bali

     
    Top