Surat Untuk Guru
Surat ini kutulis
Tepat di hari yang diperuntukkan bagimu
Hari guru nasional
Dan engkau pun disanjung
Dalam dentang himne
Yang mendebarkan
Membawaku menyusur kembali
Lekak lekuk tanah di desa
Tempat engkau pernah teteskan
Butir keringat untuk sebuah pengabdian
Guruku
Di cintamu aku termangu
Aku tahtakan rasa hormat
Pada sepanjang pengabdianmu
Menghitung bekas pijakan
Tapak jalan pengorbananmu
Di lereng gunung atau di tepi pantai
Di tengah hutan belukar
Pada kesenyapan alam raya yang sunyi
Engkau tak pernah berkeluh kesah
Karena menjadi guru adalah pilihan pasti
Atas nama cinta dan kesetiaan
Surat ini kutulis
Saat berpuluh tahun berlalu
Setelah kita harus berpisah
Dan membiarkan aku terbang
Ke segala penjuru tanah air
Dan jika hari ini aku mengenangmu
Kusebut namamu
Guruku aku mencintaimu!
Engkau telah lama pulang ke firdaus
Tetapi warisan yang engkau tinggalkan
Adalah harta yang tak pernah usang
Engkau telah menanam benih keadaban
Pada berjuta jiwa dan raga
Lalu kami pun tumbuh
Menjadi anak satu bangsa
Yang menularkan petuahmu
Sambil berucap: Terima kasih guru!
Denpasar, 25 November 2018
Hari Guru Nasional
Kampung Leluhur
Kampung leluhur di lereng gunung masih tetap megah
Meski ditinggal para pewaris tahta keadaban
Bulan malam sendirian bermain leleloka*)
Dan bintang-bintang menyepi di malam bulan terang
Pintu-pintu rumah adat tertutup rapat
Tanpa nyala pelita berkedip melahirkan petuah-petuah arif
Sebab para pemangku adat pun turut berkhianat
Tak lagi teguh pada warisan leluhurnya sendiri
Mereka pergi ke tanah yang bukan warisan nenek moyangnya
Kampung leluhur tanpa penghuni
Perempuan pengabdi mataraga*) pun kehilangan cinta
Tak ada lagi yang membakar arang di saat senja
Dan duduk menginang di bhejamoa*) sambil menyandungkan teke*)
Sekedar menghilangkan penat setelah menggarap tanah ladang
Kampung leluhur kami dalam balutan sunyi
Semakin kusam tanpa sentuhan tangan yang setia merawat
Menunggu saatnya atap ilalang terkelupas dimakan usia
Lalu tiba saatnya para pemilik tak lagi membutuhkan
Dan kampung leluhur pun menjadi sekedar catatan sejarah tanpa nyawa
Denpasar, 24 November 2018
*)leleloka=salah satu permainan saat bulan terang di malam hari
Mataraga = tahta kebesaran
Bhejamoa=bagian rumah adat terluar
Teke=nyanyian tradisional penuh makna wejangan moral
Cerita Hutan di Kampung Kami
Hutan di kampung kami punya kisah masa lalu yang indah
Burung-burung berkicau menyambut pagi
Dan berkicau lagi menyambut senja
Saatnya mereka menikmati malam yang tenang
Dan esok pagi mereka berkicauan lagi
Memberi tanda kehidupan semesta
Burung-burung malam bermain cinta di langit senja
Terbang mengitari atap ilalang rumah adat
Lalu melesat terbang entah kemana
Dan kembali pada subuh sebelum matahari bersinar
Untuk tidur di ranjang dedaunan eukaliptus
Atau di gua batu yang pengap dan lembab
Itu kisah masa lalu yang indah
Saat leluhurku tahu bersahabat dengannya
Yang masih berpegang teguh pada ajaran nurani tentang kearifan
Membiarkan mahluk hidup membirahi hutan belukar
Agar keadaban tak punah di tangannya
Hutan di kampung kami pada musim ini
Tak lagi ramah untuk kehidupan margasatwa penghias jagat raya
Sebab penjagal-penjagal membidik dengan senapan yang memusnahkan
Para lelaki telah kerasukan birahi membunuh dan haus darah
Kejahatan terhadap lingkungan menjadi hal yang dibiarkan menjadi lumrah
Hutan di kampung kami menjadi warisan penuh luka
Anak cucu belajar mahluk margasatwa cukup dengan mimpi
Mereka hanya diwariskan sejarah masa lalu
Bahwa hutan kita pernah menjadi surga berjuta kehidupan
Tetapi punah di tangan generasi ayah atau neneknya
Denpasar, 22 November 2018
Posting Komentar