
Denpasar kini menjadi kota metropolitan untuk Pulau Bali dan sebagai kota metropolitan, ciri khas yang mudah dilihat dengan mata telanjang adalah kemacetan. Kendaraan roda dua, roda empat, sepeda onthel, sepeda motor, dokar dan manusia sama-sama memenuhi hampir seluruh ruas jalan utama di Kota Denpasar dan Kuta Badung. Maka terjadilan kemacetan. Orang pun mulai resah, tetapi tuntutan pekerjaan mengharuskan orang sama-sama menggunakan fasilitas yang ada, tanpa harus saling mengalah.
Macetnya jalan utama di Kota Denpasar mengindikasikan bahwa orang-orang yang tinggal di kota ini hadir dengan kesibukannya sendiri, bekerja di siang hari, bekerja di malam hari, jalan-jalan di siang dan malam hari bahkan sepanjang waktu.Memang, setiap orang dituntut untuk bekerja karena dengan bekerja ia memperoleh nafkah untuk membiayai kehidupannya, keluarga dan lingkungannya.Tapi pernahkah kita merefleksikan keluhuran sebuah pekerjaan? Banyak orang bekerja untuk mendapatkan penghasilan dengan menggadaikan harkat dan martabat dirinya sendiri bahkan harus menjadikan orang lain sebagai tumbal. Penjahat perampokan, penodong, penjual narkoba dan lain-lain sejenisnya tentu adalah mereka yang tidak mampu merefleksikan keluhuran dari pekerjaan sehingga cenderung melakukan pekerjaan bukan atas dasar menguntungkan secara moral, tetapi sekedar menguntungkan secara fisikal.
Tokoh dunia sekaliber Paus Johanes Paulus II merefleksikan betapa luhurnya martabat pekerjaan yang hampir dilakukan oleh seluruh umat manusia. Permenungan tokoh fenomenal ini tertuang dalam ‘Laborem Exercens’ yang terbit pada tahun 1982. Ia merefleksikan tentang nilai luhur pekerjaan bahwa dalam bekerja manusia tidak hanya berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan tuntutan masa depannya saja tetapi manusia turut memperpanjang karya penciptaan. Dalam bekerja manusia secara aktif ikut ambil bagian dalam kreativitas Tuhan.Karena itu dalam dunia kerja, manusia tidak dibenarkan menjadi sarana atau obyek. Ia harus menjadi subyek dan tujuan. Sebagai subyek manusia adalah ‘bos’ dari setiap pekerjaan, bukan hamba dari pekerjaan. Sebagai tujuan, pekerjaan menjadikan manusia semakin kreatif dan bijaksana. Pekerjaan menjadi sarana aktualisasi panggilannya kepada pemenuhan yang layak sesuai dengan martabatnya.
Dalam pandangan Paus Johanes paulus II, pekerjaan harus membawa manusia kepada kehidupan yang layak sesuai dengan martabatnya. Proses produksi pertama-tama bukan untuk mengakumulasikan modal dan meraup keuntungan sebesar-besarnya tetapi untuk menjamin kelangsungan setiap individu. Hasil produksi adalah juga hak setiap pekerja, bukan hanya milik majikan. Hal yang perlu diatasi pada masa sekarang ini adalah struktur proses pekerjaan yang dualistik. Dalam dunia kerja seringkali ada pihak ketiga yang turut menentukan kedudukan pekerja yang dikenal dengan istilah majikan tidak langsung. Pada konteks inilah, biasanya pekerja dieksploitasi.
Apa yang dikemukakan oleh Paus Johanes Paulus II ini sangat relevan dengan kondisi kerja dewasa ini. Masih ada pihak pemberi kerja yang memandang pekerjanya sebagai ‘pekerja’ semata, pada hal sesungguhnya para pekerja adalah para kreator. Maka sangat dituntut hal-hal ini, bahwa dalam perusahaan para pemilik modal dan karyawannya adalah sama-sama sebagai pencipta yang akan menikmati hasil ciptaannya di akhir bulan atau di akhir tahun. Maka pertanyaan penting untuk refleksi kita adalah, apakah di lembaga koperasi, karyawan dan pengurus serta manajemen sudah duduk sama rendah, berdiri sama tinggi sebagai pencipta yang akan menikmati hasilnya pada akhir tahun buku? Kita-kita di koperasi tentu sudah tahu apa jawabnya.*AGUST GT
Posting Komentar