(The effect of staying at home)

Sebagai seorang "kuli
harian" saya tak mengkin mengharapkan penghasilan tinggi dalam waktu
sekejap. Terlebih karena saya memegang prinsip, hal yang terpenting dalam
bekerja adalah kepuasan hati. Saya lebih memilih pekerjaan yang mungkin tak
segemerlap pekerjaan yang dipilih teman-teman seangkatan saya, tetapi mampu
'memuaskan' idealisme saya.
Saya memang sangat mencintai dan menikmati
pekerjaan saya saat ini. Akan tetapi saat saya berbincang dengan seorang teman
yang bekerja di Ibukota, ia mulai membandingkan penghasilan kami. Jelas saja
saya kalah telak. Saya sempat jengkel sebentar. Bagaimana tidak. Selama menjadi
mahasiswa, sepertinya prestasi kami sejajar. Tetapi mengapa Tuhan menitipkan
rezeki yang sama besarnya dengan yang dititipkan pada teman saya ini? Ini bukan
protes!
Akan tetapi, begitu saya merenung
kembali segala kebaikan Tuhan, saya menemukan satu hal yang luar biasa.
Ternyata penghasilan saya yang tak seberapa itu cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, bahkan untuk membantu saudara2 yang memerlukan dan tidak
menjadikan saya miskin. Padahal, logikanya, pengeluaran saya setiap bulanya
bisa sampai dua kali lipat penghasilan saya.
Lalu, darimana sisa uang yang saya
dapat untuk menutupi kesemuanya itu? Wah..., ya dari berbagai sumber (yang
pasti tidak korup atau memurk-up anggaran). Tetapi saya yakin dan percaya tanpa
campur tangan-Nya, itu semua tidak mungkin. Nah, ini salah satu alasan mengapa
matematika Tuhan misterius. Bukankah seharusnya neraca saya sudah
njomplang...kok masih bisa hidup.
Bukti kedua adalah kesaksian seorang
teman. Ia mengaku kalau semenjak lajang, penghasilanya tidak jauh berbeda
dengan sekarang. Anehnya, pada saat dia masih membujang, penghasilannya selalu
pas. Maksudnya, pas akhir bulan pas uangnya habis. Anehnya lagi, begitu ia
berkeluarga dan memiliki anak, dengan penghasilan yang relatif sama, ia masih
bisa menyisihkan uang untuk menabung.
Aneh bukan? Kalau bagi manusia 1
juta dibagi satu sama dengan 1 juta dan 1 juta dibagi dua sama dengan 500 ribu.
Tidak demikian bagi Tuhan. Dari kesaksian teman saya 1 juta dibagi tiga sama
dengan satu juta dan masih sisa.
Ya, Tuhan selalu mencukupkan apa pun
kebutuhan kita. Tanpa kita minta pun, Dia sudah 'menghitung' kebutuhan kita dan
menyediakan semua lewat jalan2-Nya yang terkadang begitu ajaib dan tak terduga.
Kata bijak bertutur: "Bagi
setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba berjalan jauh di jalur-jalur
'cukup', segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang
terbesar".***Stefanus Haryanto
Posting Komentar