Situs
Budaya atau Budaya Situs?
Juli
2013 lalu saya pulang ke kampung Maghilewa untuk sebuah upacara “Mula Ngadhu”
(tanam/dirikan Ngadhu). Saya merasa bangga karena ketika masuk gerbang
kampung-kampung Jere, Maghilewa, Watu dan Leke, ada tulisan besar: Situs
Budaya.
Tentu
tulisan itu tidak asal dipasang
berdasarkan selera “isi nua” (orang kampung) itu sendiri. Sebab mereka
sama sekali tak ada wewenang apapun untuk menentukan sebuah kampung tradisional
masuk dalam kategori situs budaya. Yang menetapkan sebuah kampung tradisional di Ngada masuk kategori situs budaya adalah pemerintah
melalui dinas, lembaga atau instansi terkait.
Saya
yakin bukan hanya Jere, Maghilewa, Watu
dan Leke yang ditetapkan sebagai situs budaya. Di Ngada masih terpelihara kampung-kampung tradisional
warisan leluhur. Kampung-kampung dengan
arsitektur rumah adat adalah “wajah
leluhur” (go ngia ine ebu nusi). Melihat
rumah adat (Sa’o), Ngadhu dan Bhaga, peo dan ture sama dengan melihat
kembali tangan-tangan leluhur (lima pade) ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu yang
telah meletakkan dasar ajaran tentang
kearifan lokal “Nua” (kampung) dan “rumah adat” (Sa’o Adha/Sa’o Meze) serta seluruh ornamen di tengah kampung (Loka nua).
Penetapan sebuah kampung tradisional sebagai “Situs Budaya” tentu sebagai sebuah upaya pewarisan.
Tujuannya agar warisan leluhur itu tak
punah dan tetap menjadi “Museum” yang dapat dilihat, dicermati, diraba dan
dipelajari segala arti dan maknanya.
Penetapan sebuah kampung sebagai situs
budaya tentu sudah melalui kajian, juga
sesuai dengan pesersetujuan pemangku adat (mosa laki) di kampung-kampung tersebut. Itu berarti
penetapan kampung sebagai situs budaya
merupakan kesepakatan bersama
dan menjadi sebuah komitmen bersama.
Konsekwensi
dari komitmen bersama itu adalah
masing-masing pihak tidak boleh saling mengklaim, tidak boleh saling merusak,
tidak boleh melakukan hal-hal di luar dari komitmen. Sebab kalau sebuah kampung telah ditetapkan menjadi
situs budaya maka masyarakat
penghuni kampung, pemilik rumah adat, ngadhu dan bhaga dan lain-lain di
dalam kampung tidak bebas lagi untuk
mengambil keputusan yang berkaitan dengan
seluruh material yang ada dalam kampung tersebut.
Misalnya,
ketika kampung tradisional yang telah ditetapkan sebagai “situs budaya” terbakar maka tanggung jawab untuk membangun kembali adalah pemerintah atau pihak yang
menetapkan kampung tersebut menjadi
situs budaya. Tanggung jawab ini dalam bentuk pembiayaan. Sedangkan seremonial
pembangunan kembali sebuah rumah adat
dan seluruh ornament yang ada di kampung tersebut tetap menjadi kewajiban dari
suku atau woe masing-masing.
Karena
sudah menjadi situs budaya maka sebuah kampung yang terbakar seharusnya dibangun kembali sesuai dengan aslinya. Jadi
kalau atapnya alang-alang maka harus
dibangun kembali dengan atapnya alang-alang (keri), bukan dengan seng
(lengarea) sekalipun lengarea itu
terbuat dari emas (seandainya ada yang
mendewakan kekayaan/melo ngai).
Karena sebuah kampung sudah ditetapkan sebagai situs
budaya maka tak seorangpun boleh mengangkat, memindahkan,
membongkar seluruh yang ada dalam
kampung itu. Dengan alas an apapun rumah
adat, ngadhu dan bhaga, peo, watu lanu bahkan satu buah batu pun yang ada di
kampung itu tidak boleh
dipindahtempatkan. Benda-benda itu harus
tetap ada di tempatnya dari sekarang sampai selama-lamanya.
Sayangnya,
yang terjadi sekarang ini adalah “kebebasan” pemilik rumah adat, ngadhu dan
bhaga untuk memindahkan ornamen adat itu keluar dari kampung yang
telah ditetapkan sebagai situs budaya. Lalu kepala desa sebagai perpanjangan tangan pak Camat, pak
Camat sebagai perpanjangan tangan pak Bupati
diam saja.
Yang
terjadi adalah ketika kampung tradisional terbakar, woe yang mempunyai rumah
adat jungkir balik (bhughu leghi) sendiri untuk membangun kembali sesuai dengan
selera mereka. Maka dengan alasan,
alang-alang mudah terbakar dan
alang-alang lebih mahal dari seng
akhirnya mereka mengatapkan rumah
adat mereka dengan seng.
Saya
menggugat kembali Pemerintah Kabupaten Ngada terutama instansi terkait
untuk kembali pada komitmen penetapan
kampung tradisional sebagai situs budaya. Langkah penetapan kampung sebagai situs budaya adalah langkah yang tepat sebagai salah satu upaya pewarisan dan
pelestarian adat dan budaya. Maka instansi terkait jangan tutup mata kalau para pemilik kampung tradisional seenaknya merubah tata bangunan, tata letak dan lain-lain dalam
kampung itu sesuai selera mereka.
Penetapan sebuah kampung sebagai situs budaya tentu ada
aturan hukumnya dan siapapun, tua adat
dalam kampung (mosa laki one nua) harus tunduk pada aturan. Melanggar atau
melawan berarti melanggar dan melawan hukum. Mengubah tata bangunan, tata letak
dan lain-lain berarti melanggar aturan dan hukum. Memindahkan sebuah rumah adat, ngadhu dan bhaga ke luar
dari kampung tanpa memberitahu kepada instansi yang menetapkan kampung
tradisional itu sebagai situs budaya harus dipahami
sebagai bentuk tindak kriminal pencurian.Maka siapa melakukan harus diproses secara hukum.
Pemerintah Kabupaten Ngada melalui instansi terkait yang menetapkan kampung tradisional sebagai
situs budaya harus tegas. Turun ke kampung-kampung dan
lakukan inspeksi, data semua kekayaan
budaya dalam kampung itu. Dengan demikian kalau ada yang hilang,
berkurang berarti ada pelanggaran. Dengan demikian pemerintah serius menetapkan kampung
tradisional sebagai situs budaya. Sebab
kalau tidak tegas, penetapan kampung
tradisional sebagai situs budaya
hanya sekedar membangun “budaya situs”
belaka.***agust g thuru