Cerpen: Agust G. Thuru
Rumah mungil di
bukit Ungasan terasa sepi.Sepi sejak
kepergian Mas Andri sepuluh tahun lalu. Sepi setelah putriku Kristin memilih
melanjutkan studi di kota Yogyakarta
setelah menyelesaikan
sekolahnya di sebuah SMA
katolik di Kota Denpasar. Rumah ini benar-benar sepi. Masih beruntung ada
Tante Ririn yang setia menemani aku. Tante Ririn adalah adik ibuku yang memilih
tidak menikah. Sejak tiga tahun lalu saat Kristin pindah ke Yogyakarta tante
Ririn memilih tinggal bersamaku.
Sebetulnya aku
heran dengan sikap tante Ririn yang mau
tinggal bersamaku. Sebab sejak aku memutuskan menikah dengan mas Andri
hubunganku dengan keluarga tidak
harmonis lagi. Bahkan ayahku tak mau bicara denganku sampai ia meninggal dunia
lima tahun lalu. Hubunganku dengan ibuku dan saudara-saudaraku pun tak
harmonis. Di mata mereka aku keras kepala dan mau menang sendiri. Dari semua
keluarga hanya tante Ririn yang mengerti
jalan hidupku.
Hubungan dengan keluarga semakin tak harmonis setelah
sepuluh tahun lalu mas Andri pergi entah kemana. Meninggalkanku dan
Kristin yang berjuang untuk menata
hidup dan terutama aku yang berjuang
sekuat tenaga untuk mengantar Kristin ke masa depan yang cerah. Keluarga
semakin marah ketika apa yang mereka inginkan aku perbuat tak kutanggapi. Sebab keinginan mereka sangat
bertentangan dengan hati nuraniku.
Setahun
setelah mas Andri menghilang
ayahku datang ke rumah di bukit Ungasan. Ia memintaku menikah lagi.
“ Kau masih muda Dean. Masih ada laki-laki yang lebih
baik dari Andri. Pikirkan baik-baik dan ambil keputusan menikah lagi.” Kata-kata ayahku membuat kepalaku seolah dihujam sebilah pedang. Aku menatap
ata ayah.
“ Itu tidak mungkin kulakukan ayah.”
“ Mengapa tidak mungkin? Kau masih muda dan cantik.
Banyak laki-laki yang mau menikahimu.”
“ Yah kalau aku mau. Tetapi yang ayah inginkan adalah hal
yang tidak mungkin aku lakukan.”
“ Kau harus bisa melakukannya demi masa depanmu dan
anakmu.”
“ Ayah, aku menikah secara katolik. Dan pernikahan katolik
itu seumur hidup tak terceraikan. Demi iman yang telah kupilih sendiri aku akan setia sampai mati terhadap janji
perkawinanku.”
Kulihat ayah sangat marah. Ia mengeluarkan kata-kata yang sangat menyayat hati. Tetapi aku harus kuat menghadapi situasi yang tak menyenangkan ini. Aku harus
bisa menjadi pemenang dalam pertarungan
hati nurani.
“ Apa yang bisa kau harapkan dari laki-laki yang
melarikan diri dan meninggalkan tanggung jawab?”
“ Aku tahu mas
Andri meninggalkanku. Tetapi perkawinanku tak serta merta batal karena
kepergian mas Andri. Tugasku adalah
berdoa tiada henti agar
suatu saat mas Andri kembali.”
“ Kau benar-benar keras kepala.”
“ Bukan kepalaku
yang keras ayah tetapi imanku yang teguh.”
Jawabanku membuat ayah benar-benar marah. Dari bibirnya
mengalir kata-kata yang sama sekali tak kuduga. Ayah mengatakan
tak lagi mengakuiku sebagai anak. Jika aku tidak kembali ke iman sebelum menikah dengan
mas Andri ayah akan benar-benar membuangku. Tapi hatiku sudah teguh. Jujur aku mengenal Yesus karena menikah dengan Mas Andri. Tetapi dalam perjalanan pergumulan iman aku
benar-benar menemukan jalan damai dalam
pribadi Yesus. Aku merasakan damai setiap kali bersimpuh di bawah kaki
salib.
Tantangan demi tantangan harus kuhadapi. Betapa banyak
godaan yang membuatku terperangkap masuk
di persimpangan jalan. Suatu waktu
kakakku yang sulung membawa seorang
dokter ke rumahku. Dokter itu duda
dan mengaku sudah memiliki
seorang putra seusia Kristin.
“ Dean, tidak baik kamu sendirian terus. Kamu perlu
teman. Perlu seorang pria sebagai
pelindung.” Kata-kata kakak dengan intonasi yang lembut.
“ Ah sudah kak, biarlah aku menjalani kehidupan ini
menurut keinginanku.”
“ Tapi kau perlu ketenangan batin.”
“ Kak, aku menikmati hidup dalam kesendirian. Aku
menikmati hidup seperti saat ini.”
“ Kau bodoh. Ini laki-laki, seorang dokter. Ia tampan,
memangnya kurang apa lagi?”
“ Tak ada yang kurang kak. Tetapi jalan yang kutempuh saat ini bukan jalan yang
bisa dengan mudah digadaikan. Tidak kak, aku tak mungkin menerima tawaran
kakak.”
“ Dasar matamu
sudah buta.”
“ Asal imanku tidak buta.”
Setiap
kali bertemu sahabat lama yang mereka
tanyakan adalah mengapa tidak menikah lagi? Bagi mereka kalau
suami telah meninggalkan istri maka
istri pun berhak untuk mengambil keputusan menikah lagi. Kujelaskan pada mereka bahwa
pernikahan katolik itu mengikat. Aku ingat apa yang dijelaskan pastor saat
kursus perkawinan. Dari perkawinan sah timbul ikatan antara suami istri yang
dari kodratnya bersifat tetap dan eksklusif. Di samping itu dalam perkawinan
kristiani suami istri diperkuat dengan sakramen khusus untuk tugas-tugas serta
martabat statusnya dan bagaimana ditahbiskan. Suami istri memiliki kewajiban
dan hak sama mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup perkawinan.
Meski
kujelaskan pada mereka tentang
akibat-akibat perkawinan secara katolik, mereka sungguh tak mengerti.
“ Untuk
apa kamu setia dalam perkawinan kalau
ternyata suamimu brengsek, pergi meninggalkanmu.” Suatu hari sahabatku Nindya menyerangku dengan kata-kata sengit itu.
“ Mas
Andri memang brengsek tetapi perkawinan kami tidak brengsek. Perkawinan kami
adalah sakramen.”
“ Ah
sudah Dean, aku tak mengerti,”
“ Kalau
begitu diam. Jangan ungkit lagi masalah
perkawinanku.”
Sampai
tahun kesepuluh kepergian mas Andri tak ada kabar dimana ia berada. Tetapi setiap kali
aku berdoa seperti aku mendapat
jawaban bahwa suatu saat mas Andri akan kembali ke rumah. Maka aku
terus belajar untuk setia pada janji perkawinan dan setia dalam penantian. Meski aku harus jujur pada suatu titik paling
kritis imanku goyah. Aku hampir jatuh dan mengkhianati imanku. Bermula di suatu hari aku belanja di sebuah mall di pusat kota
Denpasar. Tiba-tiba seorang pria
menggamat lenganku. Ia menatapku. Dan kukenal laki-laki itu.
“ Dean,
apa kabar?”
“
Mas Okan, apa kabar mas?”
“ Aku
baik-baik, yah seperti yang kau lihat.”
Dan
aku seolah terbang ke masa-masa SMA
dulu. Tiga tahun di SMA kami menjalin persahabatan. Ketika kuliah di perguruan tinggi kami pun berpacaran. Tetapi setelah
menyelesaikan studi mas Okan pergi entah
kemana. Tanpa ada kabar berita. Mas
Okan seperti hilang ditelan bumi. Itulah
sebabnya ketika mas Andri hadir dalam hidupku
aku segera melupakannya. Mas Okan mengajakku ke sebuah kantin di mall itu. Kami duduk
berhadap-hadapan.
“
Engkau sudah menikah Dean?”
“
Sudah mas Okan. Aku punya seorang putri
cantik.”
“ Yah,
aku sudah tahu. Dua tahun setelah engkau menikah aku pulang dari Amerika. Aku sedih mendengar
dari seorang teman bahwa engkau sudah
menikah.”
“
Maafkan aku mas Okan.”
“
Engkau tidak salah Dean. Oh ya kudengar dari kakakmu bahwa perkawinanmu bubar.
Suamimu pergi.”
“ Maaf
mas, perkawinanku tidak bubar meski mas Andri suamiku pergi entah kemana.”
“
Maksudmu? Suami pergi yah sama dengan bubar.”
“ Tidak
mas. Perkawinan katolik itu selamanya. Hanya maut yang memisahkan. Hanya
kematian yang membuat kami berpisah.”
“
Lupakan Andri. Dean, mari kita rajut kembali cinta kita yang dulu.
Engkau gagal dalam perkawinan dan akupun gagal dalam perkawinan. Mari kita
bangun kembali menara yang runtuh. Dan
kita menjadi pasangan yang menikmati hidup secara sempurna.”
Aku
terdiam. Cinta lama seolah bersemi kembali. Kupikir bukan hal yang rumit untuk meninggalkan iman yang selama ini
kupegang teguh dan menikah dengan mas Okan. Maka kupesan mas Okan bahwa aku akan menghubunginya satu atau dua
hari lagi untuk memberikan jawaban. Kulihat mas Okan sangat bahagia. Kami pun berpisah untuk
selanjutnya aku kembali ke rumah di bukit Ungasan. Entah mengapa aku bingung.
Dan
sore hari ini aku duduk di teras rumah
lantai dua. Aku memandang laut biru di pantai Sanur. Aku gelisah. Tante Ririn
sepertinya menangkap raut wajah gelisahku. Ia menghampiriku.
“ Ada
apa Dean?” Ia merebahkan tubuh di sampingku. Dan aku menjatuhkan kepala ke pangkuannya.
“ Aku
bingung tante.”
“
Bingung apa lagi?”
“ Tadi
aku bertemu mas Okan. Perkawinannya bubar. Ia mengajakku menikah. Aku bingung.”
Tante Ririn mengelus rambutku. Kurasakan seperti belaian ibu yang sudah lama tak
pernah kurasakan. Kutahu tante Ririn sangat menyayangiku.
“ Kau
lihat layang-layang itu?” Tanya tante Ririn.
“ Yah,
aku melihatnya.”
“
Itulah hidupmu. Kau seperti layang-layang itu. Diombang-ambing, diterpa angin kian kemari.Ia baru berhenti kalau yang memegang benang
menariknya kembali.Jadi kau akan tenang kalau engkau mengambil keputusan yang
pasti.”
Aku
menatap layang-layang di langit biru diterpa angin kian kemari.
Lalu aku menatap tante Ririn.
“
Tante, biarkan aku seperti layang-layang
itu diterpa angin kian kemari. Aku tidak
takut tante.”
“
Mengapa engkau tidak takut Dean?”
“
Karena akulah layang-layang yang benangnya kokoh terikat di kaki salib. Aku
tahu imanku akan menyelamatkanku dan
mengokohkan perkawinanku sampai maut
memisahkan.”
“ Meski
tanpa Andri?” Tanya tante Ririn.
“ Yah,
meski tanpa mas Andri.”
Aku
tahu jalan hidupku masih panjang. Tetapi setiap tapak kakiku adalah hembusan
kata doa. Dan aku yakin kekuatan doa
akan membawa kembali mas Andri ke dalam
pelukanku. Kalau bukan esok mungkin lusa. Kalau bukan lusa mungkin tahun depan.
Atau mungkin selamanya aku menunggu.
Karena perkawinan adalah kesetiaan. Aku sadar
bahwa perkawinan tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi mana pun juga
dan atas alasan apa pun, selain kematian. Aku mau menjadi seperti layang-layang
di kaki salib.***
Denpasar,
8 April 2016
*)
Nama-mana dalam cerpen ini fiktif belaka.Kesamaan hanya kebetulan saja.
Posting Komentar