Aku lupa tanggal tepatnya
ketika jantungku berdegup dan
mataku terpana pada wajah seorang gadis blasteran Bali Maghilewa. Yang masih
kuingat adalah ketika itu ia bermain dengan ombak kecil di pantai Wae Sugi.
Sebuah pantai indah di Malapedho Inerie. Rambutnya yang panjang dibiarkan
terurai dan bagaikan layar terkembang dielus
angin pantai yang bertiup sepoi.
Sudah satu minggu gadis itu memberi warna indah di pantai
berjuta batu hitam. Pantai yang menyimpan kenangan masa kecilku hingga aku
remaja. Gadis itu bercanda dengan ombak
hingga menjelang senja. Kadang ia duduk di atas batu besar dan memandang
matahari yang tenggelam di ufuk barat. Memandang sinar matahari senja yang bertengger indah di puncak Ngalu Roga. Kedua matanya pun
sering mengerling ke utara
menikmati tubuh gunung Inerie
dengan puncaknya yang seperti mata
tombak siap menusuk langit malam. Sering ia berlama-lama memandang ke laut
lepas menikmati ikan terbang yang tak
malu-malu memamerkan kebolehan akrobatiknya di udara.
Sebetulnya sejak hari pertama berlibur di Malapedho aku sudah
mendengar gadis itu menjadi buah bibir. Ia menjadi percakapan para orang muda di kampung itu. Tentu
saja gadis itu menjadi perhatian karena ia cantik. Tubuhnya yang tinggi
semampi dan kulit kuning serta dua bola mata yang agak sipit memang
membuat gadis itu nyaris sangat
sempurna.
“ Namanya Theresia. Ia anak bapak Ose. Ibunya keturunan Cina Bali. Jadi wajar kalau dia itu cantik sekali.”
Kata Tony sahabatku semasa di sekolah dasar.
“ Anak dari bapak Ose
siapa?” Aku bertanya pada Tony.
“ Bapa Ose itu orang dari
sini tetapi merantau ke Bali dan sudah
lama tak pulang. Orang kampung ini geger
ketika putrinya yang cantik itu
datang berlibur. Theresia itu memang
cantik sekali. Kalau aku belum beristri,
aku sudah kejar dia sampai aku dapat.”
Tony menghela nafas lalu meneguk arak
pada wadah yang disebut sea tua.
Aku tersenyum melihat tingkah sahabatku Tony. Dia teman kelasku
di Sekolah Dasar Inerie. Begitu menyelesaikan sekolah dasar lima tahun kemudian
ia menikah. Jadi ia kawin muda. Sedang
aku meninggalkan kampung
untuk melanjutkan sekolah di kota Bajawa kemudian menyelesaikan pendidikan
menengah atas di kota Maumere. Lalu bergabung dengan sebuah biara di
Jawa Tengah. Dan kini aku kembali ke
kampung halaman untuk menyepi satu atau dua bulan sebelum mengambil keputusan
untuk mengikrarkan kaul pertama.
“ Teman, Theresia itu cocok untukmu. Ayo teman, kejarlah.” Tony
mengoceh. Dan aku pun tersenyum. Dalam hati
aku membatin secantik siapa gadis
blasteran Maghilewa Bali bernama
Theresia itu?
Keesokan hari aku bangun
lebih pagi. Ini hari Minggu. Menikmati udara pinggir pantai yang segar.
Menikmati senandung para penyadap tuak.
Dan menikmati debur ombak laut sawu. Melangkahkan kaki dari batu yang satu ke
batu yang lain. Dan, di pantai Wae Sugi
gadis itu bermain dengan ombak. Ia seperti bidadari laut yang tanpa
cacat. Ia sungguh sempurna. Dan ketika
aku mendekat kedua bola matanya seperti
mata tombak yang menusuk jantungku.
“ Theresia yang dari Bali itu?” Tanyaku.
“ Mmmm, yah, kog tahu namaku?” Ia balik bertanya.
“ Oh ya, Theresia sudah
menjadi buah bibir di desa ini.”
“ Ah, orang desa sini terlalu membesar-besarkan peristiwa.” Ia
tersenyum. Dan senyum itu membuatku melayang.
Kami bersalaman, bergenggaman. Kurasakan ada getar dari dua telapak tangan. Telapak
tangan seorang perempuan dan seorang laki-laki. Kami melangkah menyusuri pantai
Wae Sugi ke arah barat. Lalu kami duduk
pada sebuah batu besar. Nyaris tanpa jarak. Begitu dekatnya hingga ketika angin menyibak rambutnya kurasakan
helai-helai rambut membelai wajahku. Kami saling memperkenalkan diri.
Kami ngobrol untuk banyak hal. Tentang laut, tentang bebatuan, tentang gunung,
tentang kampung Maghilewa dan tentang Bali yang tersohor itu.
“ Aku ingin menenangkan diri di kampung ini. Aku tahu ini
kampung ayahku tempat leluhur
bersemayam. Aku telah berusaha menyelesaikan masalah hidup dengan doa.
Dan kini aku ingin leluhur bekerjasama
dengan Tuhan untuk memberiku jalan yang terbaik.” Suara Theresia melesat dari
bibirnya.
“ Memangnya masalah apa
yang Theresia hadapi?” Ia memandangku dan sekelumit senyum terurai dari
bibirnya. Di saat sama jantungku berdegup mungkin sama gemuruhnya dengan ombak
pantai.
“ Aku bingung menentukan pilihan. Meneruskan hidup membiara atau kembali
menjadi orang biasa. Kembali
menjadi anak perempuan, menemukan jodoh, kawin lalu melahirkan anak-anak. Sungguh,
saat ini aku bingung.” Theresia merundukkan wajah. Kulihat ujung kakinya
memainkan sejuta butir pasir.
Aku terpana. Kebingungan
Theresia sama seperti
kebingunganku. Theresia bingung
mengambil keputusan untuk mengucapkan kaul pertama sebagai pintu masuk ke tahap
lanjutan hidup sebagai biarawati. Sedang aku
bingung mengambil keputusan untuk mengucapkan kaul pertama sebagai tahap awal memasuki belantara hidup
sebagai biarawan.
“ Kita satu nasib. Aku pun bingung mengambil keputusan,
meneruskan panggilan atau kembali ke
dunia di luar biara.”
“ Oh ya, mungkin pertemuan kita ini adalah solusi. Mungkin ini
jawabannya.” Theresia memandangku dan baru kulihat jelas senyumnya sangat
mempesona.
Itulah pertemuanku pertama kali dengan Theresia. Pertemuan yang
berlanjut dengan menyusuri jalan berdebu ke Gereja Santo Martinus Ruto.
Pertemuan setiap hari di pantai Wae
Sugi. Pertemuan yang membuat kami lupa pada panggilan hidup masing-masing.
Pertemuan yang membuat liburan tak lagi
berbatas hari atau bulan. Dan pertemuan yang membuahkan
cinta antara dua manusia. Kami akhirnya larut dalam belanga cinta.
Sampai pada suatu tanggal keramat 29 Maret kami saling mengikrar
janji sehidup semati di depan altar di Gereja St. Yoseph Kepundung Denpasar
Bali. Kami menyatu dalam sakramen perkawinan
menjadi keluarga, suami dan istri.
“ Inilah jalan yang kita temukan bersama.” Ungkapku pada
Theresia.
“ Yah, semoga kita menjadi tanda yang menggembirakan berkat pengalaman rohani kita di biara.” Theresia tertawa sambil memelukku erat.
Usai menikah di Denpasar kami memutuskan kembali ke Bajawa
karena aku telah lulus seleksi calon pegawai negeri sipil. Lima tahun
perkawinan kami adalah masa-masa yang indah. Tetapi setelah putri kami
kedua lahir riak-riak rumah
tangga mulai terasa. Selalu ada pertengkaran. Selalu ada rasa cemburu.
Bukan hanya Theresia yang cemburu tetapi
juga aku yang cemburu. Perkawinan kami
diwarnai dengan saling curiga. Tentang perselingkuhan. Tentang wanita
idaman lain. Tentang pria idaman lain. Tentang banyak masalah yang
belum tentu kebenarannya. Rumah tangga kami sudah benar-benar dikuasai oleh
kepongahan yang kami ciptakan sendiri.
Sampai pada akhirnya mengalami puncak.
“ Sudahlah, aku sudah tak
tahan. Aku muak, aku bosan, aku jenuh. Aku tak menemukan lagi sesuatu yang berarti dalam perkawinan kita.”
Theresia mencercaku sambil berlinang air mata.
“ Kalau kau tak tahan, silahkan angkat kaki dari rumah ini. Aku
muak melihat mukamu.” Aku pun
mengeluarkan kata-kata jauh lebih pedas.
Pada usia perkawinan kami yang kesepuluh tahun semuanya runtuh.
Theresia kembali ke Denpasar Bali. Dan sejak itu tak ada lagi kabar berita tentang
Theresia. Beberapa kali aku ke Denpasar berusaha mencarinya namun tak
menemukan.Kepergian Theresia mengubah kehidupan. Aku baru merasakan kesepiah.
Aku baru merasakan betapa pentingnya
seorang istri di sampingku. Baru merasakan betapa penting kehadiran seorang ibu dalam keluarga.
Limabelas tahun berlalu
tanpa Theresia. Anak-anakku telah tumbuh
menjadi seorang remaja. Tetapi aku
berusaha memberi mereka pemahaman yang benar tentang sosok
ibunya.Meskipun harus dengan menipu bahwa ibunya bekerja sebagai tenaga kerja
wanita di Hongkong. Syukurlah anak-anak memahami. Dan mereka merindukan suatu saat dapat bertemu dengan ibunya.Dan
pagi ini 29 Maret telpon genggamku
berdering. Terdengar suara yang sangat kukenal.
“ Hallo, Mas, ini mama”
“ Mama, engkau dimana?”
“ Aku di Bandara Komodo dan siap transit ke Bandara Turelelo.
Mas jemput aku ya?”
“ Iya mama, iya..”
“ Aku kangen Mas”
“ Aku juga Ma”. Tak terasa air mataku berderai. Air mata cinta. Air mata kerinduan.
Di Bandara Turelelo. Theresia menerobos kerumunan orang yang
datang menjemput kerabatnya. Lalu tanpa
malu ia membenamkan drinya dalam
dekapanku. Kepalanya tenggelam dalam dadaku. Kurasakan hangat air matanya.
Kunikmati denyut jantungnya. Kubiarkan ia terbenam lebih lama dalam dadaku. Lalu ia menengadah
memandangku.
“ Maafkan aku Mas”
“ Sudah, kita sudah saling memaafkan”
“ Hari ini 25 tahun perkawinan kita Mas”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Cuma pelukan yang semakin erat.
Dekapan yang semakin hangat. Dan cinta
yang bermekaran kembali. Lebih dari itu adalah saling memaafkan.
Benar apa kata Bapa Suci Fransiskus. Tak
ada keluarga yang sempurna, tak ada suami yang sempurna, tak ada istri yang
sempurna. Perkawinan yang sempurna adalah bila ada saling memaafkan.***Agus G. Thuru
Denpasar,
29 Maret 2016
Sebuah
Renungan di Tahun Kerahiman Ilahi. Nama-nama dan ceritera dalam cerpen ini fiktif. Kesamaan hanyalah kebetulan belaka.
Posting Komentar