PUISIKU SEHABIS HUJAN (6)
Langit-langit rumah lamaku tidak hanya
meniriskan sisa-sisa hujan yang melambat. Tapi membuka kembali lembaran yang
tersobek paksa terkena panasnya kebencian yang membakar kewarasan. Ya
langit-langit yang tiris tidak saja tentang masa lalu, juga tentang masa depan
dengan melewati hari ini.
![]() |
Gambar ilustrasi dari google.co.id |
Tambalan penuhi atas agar langit-langit
tak lagi tiris. Tetapi tambal hanya luarnya saja. Di dalam sudah terlanjur
bocor seperti susah dijahit kembali karena efek dan hasilnya sudah menjalar.
Tidak percaya, lihat itu korupsi. Banyak pucuk yang ditangkap dan ditambal,
tetap saja bocornya seakan merata.
Oh hujan di penghujung kemaru yang
tiba-tiba terenggut kemilau dengki dan ambisi seakan membuka jalan bagi
laron-laron yang kepanasan dalam puing-puing kayu yang diresapi air hujan
pertama. Laron-laron liar beterbarangan mengotori lantai dan halaman. Tetapi
tak lama. Tubuh laron lenyap tinggalkan sayap-sayap kosong seperti bekas luka
yang membentuk peta di lekak lekuk tubuh bersaing dengan tatoo atas nama seni.
Ah hujan malam jangan tempiaskan tirismu
yang menderas di langit-langit rumahku. Ya rumah kebangsaan ini sudah terlalu
banyak bocornya.
Musim hujan politik yang mendekat ingatkan
kita untuk sediakan perekat nusantara yang tahan bocoran yang membanjir dalam
ujaran-ujaran kebencian atas nama gadis bersama SARA, gadis lugu yang
diperebutkan demi keuntungan kelompok.
Terlenamu berbahaya jika termakan umpan
yang merobek-robek cinta akan negeri yang kaya ini. Sadarlah. Ini NKRI, bukan
lainnya.
Kaki Merapi, Oktober 2017 - Januari 2018
Alfred B. Jogo Ena
Posting Komentar