
Tapi seringkali
perasaan pribadi bisa dipengaruhi pula oleh hal-hal yang terjadi di luar diri
pribadi. Peristiwa yang seharusnya
bersifat publik tetapi karena
sangat berkaitan erat dengan sensifitas
pribadi maka sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bertindak dan cara bertutur
kata pribadi. Peristiwa publik itu tanpa sadar telah menggiring orang secara pribadi masuk ke arena “konflik”
meskipun tanpa senjata atau bedil
dan tidak pada medan pertempuran.
Konflik tanpa Senjata
Sepanjang tahun 2017,
sadar atau tidak sadar masyarakat Indonesia
sesungguhnya terlibat
konflik yang luar biasa. Perang sesungguhnya berkecamuk di Indonesia meski tanpa terdengar letusan
bedil atau dentuman meriam.
Pemicunya adalah panggung politik. Medan
perang adalah media sosial atau yang juga popular dengan istilah Dunia Maya
(Dumay). Sedangkan pasukan yang berperang
adalah mereka yang berkepentingan, yang memanfaatkan semua cara, dengan menggiring opini public agar bisa mencapai tujuan (goal). Dan masyarakat
adalah korban dari konflik atau perang politik itu yang kemudian
menyampaikan perasaan suka, duka, marah, dukungan sesuai dengan
suasana batinnya melalui saluran media social.
Masyarakat digiring ke
medan laga para penguasa panggung politik. Dengan cara-cara yang meyakinkan bahkan licik, masyarakat kemudian digiring ke situasi dimana mereka seolah-olah menjadi “pemain
utama” di panggung politik itu. Hasilnya, masyarakat berada di antara segerombolan atau dua ekor gajah
yang ketika gajah dengan gajah berkelahi, masyarakat seperti pelanduk, yang mati di tengah-tengah.
Itulah kenyataan sepanjang tahun 2017.
Masyarakat atau “rakyat” yang adalah pemilik kedaulatan bangsa ini dengan mudahnya dijadikan tumbal politik.
Maka demi mencapai tujuan politik, pihak-pihak tertentu mengerahkan
massa rakyat sebagai pelor-pelor yang melesat dari dua mulut meriam. Lalu
tanpa sadar (atau mungkin sadar) letusan meriam itu saling berhadapan mirip
perang tradisional masa silam
dimana antara dua kelompok saling berhadapan, berperang sampai salah satu pihak lari terbirit-birit menunjukkan kekalahannya.
Para rakyat itu telah menjadi tumbal kepentingan politik yang selalu
berteriak bahwa perjuangannya demi rakyat tetapi sesungguhnya, demi
kekuasaan yang diincarnya.
Pertikaian di Medsos
Di tahun 2017 media social
menjadi saluran efektif bagi siapa saja untuk menyalurkan perasaan.
Meyalurkan perasaan suka, duka, untung dan malang. Tetapi juga untuk
menyalurkan perasaan benci, dengki,
menyebarluaskan kebencian, kemarahan, ketidaksukaan, ketidaksaudaraan. Media social
di sepanjang tahun 2017 menjadi saluran orang
untuk saling caci, saling hina,
saling umpat, saling merendahkan harkat dan martabat. Seolah-olah, mereka yang
menyalurkan amarah di Medsos itu sudah kehilangan rasa kemanusiaan, sudah lupa
bahwa manusia itu berasal dari citra
yang sama, ciptaan Tuhan yang sama pula.
Diskusi-diskusi politik
yang ditawarkan di media social mendapat
respon beragam. Diskusi bukan lagi untuk saling
asuh, asah asih tetapi untuk saling cemooh bahkan saling merendahkan. Tak heran bila
kata-kata dalam diskusi media social itu
bisa membuat bulu kuduk merinding. Kata
binatang, anjing kurap, setan, dan lain-lain yang ditujukan kepada seseorang
(lawan diskusi) membuat siapa yang masih punya rasa kemanusiaan
mengelus dada sambil berbisik “meaculpa”. Terkesan, manusia Indonesia (yang
terlibat diskusi Media Sosial) telah kehilangan tatakrama, kehilangan
kemanusiaan yang adil dan beradab, kehilangan persatuan Indonesia, bahkan
kehilangan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tuhan pun Dipasung
Yang menyedihkan, di
tahun 2017 Tuhan digiring ke panggung
politik. Tuhan dijadikan “alat” untuk mencapai tujuan politik. Tuhan menjadi kekuatan yang seolah-olah “pro”
dengan satu kelompok dan “kontra” dengan kelompok lain. Tuhan diklaim hanya milik kelompok tertentu dan bukan milik kelompok lainnya. Tuhan disebut-sebut hanya milik kelompok yang pro
pada sosok pemimpin tertentu dan tidak
menjadi milik kelompok yang kontra
dengannya.
Maka tidak heran jika di tahun 2017 media social pun
diwarnai dengan komentar-komentar yang merendahkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tuhan yang diyakini kelompok agama
tertentu disebut-sebut sebagai Tuhan yang salah, Tuhan yang keliru, Tuhan yang
tidak benar dan hanya Tuhan kelompok tertentu saja yang benar. Saling hina, saling hujat antar
kelompok agama (dalam media social) bahkan menjadi viral. Tuhan agama tertentu disebut anjing, babi dan
lain-lain istilah yang tak pantas dinikmati.
Di tempat lain tampil kelompok yang secara terang-terangan
menyebut agama tertentu “kafir” dan karena itu setiap pemimpin atau calon pemimpin dari agama yang disebut kafir itu adalah juga kafir. Karena itu orang kafir tak pantas menjadi pemimpin.
Kelompok yang terang-terangan ini bahkan berhasil menggalang massa dalam jumlah jutaan untuk memrotes calon pemimpin yang disebut kafir itu. Politisasi agama pun tak
terhindarkan lagi. Bahkan siapa
yang mendukung calon pemimpin atau pemimpin yang disebut
kafir itu, meskipun masih satu iman,
sudah dipandang kafir. Itulah sepenggar catatan kusam panggung politik bangsa kita di tahun 2017.
Memasuki tahun 2018
ini, kiranya kita lebih arif, lebih
dewasa, lebih cerdas dalam segala hal, termasuk dalam hal berpolitik. Kita
berharap agar panggung politik benar-benar steril dari kepentingan yang
menggiring agama sebagai sebuah kekuatan
untuk mencapai tujuan. Kita berharap agar TUHAN tidak dipasung lagi di panggung politik 2018 ini. Biarkan
Tuhan menjadi kekuatan baik bagi siapa
saja karena Ia ADA untuk semua orang dan tidak mengenal panggung
pro dan kontra. Selamat Tahun Baru 2018. Jaya Indonesia.***
agust g thuru/Denpasar 31 desember 2017
Posting Komentar