Konon
sebuah helatan Pilgub, Pilkada atau Pilpres harus dimulai proses tahap demi
tahap. Aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan mengharuskan demikian
adanya.
Idealnya
semua harus taat pada hukum itu. Tapi yang kita saksikan lain dari hukum.
Tahap-tahap belum berjalan, orang sudah kampanye. Brosur bertebaran di
mana-mana. Spanduk berserakan di tempat strategis agar mudah dilihat.
Yang juga tak kalah serunya adalah kampanye lewat media sosial.
Tentu tidak ada yang salah dengan pemanfaatan media sosial sebagai alat
sosialisasi para calon. Justru cukup efektif karena menjangkau semua orang yang
sudah melek teknologi informasi.
Yang menjadi soal adalah media sosial dijadikan alat untuk
kampanye hitam dan saling menjelekkan para calon. Apa lagi mengklaim calon
dukungannya paling baik, padahal calon tersebut belum pernah menjabat.
Menjelek-jelekkan calon bukan cara kampanye yang santun, cerdas
, bermartabat dan sebagainya. Yang menyebarkan kampanye menjelekkan calon bisa
jadi sedang mabuk dukungan sehingga lupa berpikir cerdas, apa yang akan terjadi
dengan dirinya seandainya calon dukungannya kalah.
Biasanya pendukung yang suka caci maki, fitnah, menjelekkan
calon lain dan calon dukungannya kalah akan berdampak oleh hukuman sosial dari
pendukung yang calonnya menang. Biasanya ia pergi merantau ke luar daerah
karena tidak tahan dengan sindiran dan cibiran dari masyarakat.
Tetapi kalau ia bertahan selama lima tahun kepemimpinan orang
yang pernah ia caci maki juga menikmati hasil pembangunan , maka hanya ada dua
kemungkinan, orang itu muka tebal atau orang itu sudah bertobat dan kembali ke
jalan yang benar. Ini menurut saya. Bagaimana menurut ANDA?.***
Denpasar 19 Januari 2018.
Posting Komentar