![]() |
IB Rai Dharmawijaya Mantra - I Ketut Sudikerta |
Masyarakat Diaspora NTT di Bali
tentu tidak bisa mengelak dari pesta demokrasi Pemilihan Gubernur Bali periode
2018-2022. Apa lagi mereka yang sudah memiliki Kartu Penduduk Nasional dan terdaftar sebagai masyarakat
Bali.
Sebagai masyarakat Bali masyarakat diaspora Flobamora wajib
melaksanakan hak demokrasi memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan.
Beberapa hari lalu penulis
mendengar selentingan seorang warga
Flobamora meski dengan nada canda. Buat apa ikut Pilgub, toh
nasib kita sebagai warga diaspora tak diperhatikan.
Waktu itu terjadi diskusi
kecil-kecilan antara penulis dengannya. Penulis katakan, tidak benar pemerintah Provinsi Bali tidak memperhatikan warga diaspora NTT.
Buktinya, warga diaspora NTT di Bali
bebas mencari pekerjaan, bebas bekerja di mana saja, bebas tinggal di mana
saja. Warga diaspora NTT yang mampu
punya tanah, punya rumah, punya mobil, sama saja seperti orang Bali.
Bagi penulis, asal keamanan
dijamin oleh pemerintah, itu sudah
sebuah perhatian yang sangat berarti. Tanggapan pemerintah melalui
aparatur hukum yang dapat mengungkap berbagai misteri begal,
pembunuhan dengan korban masyarakat
diaspora NTT, bukankah itu sudah merupakan bentuk perhatian?
Antara Hak dan Kewajiban
Memilih Gubernur-Wakil Gubernur pada
Pilgub Bali Juni (kalau tidak
salah) mendatang bukan kewajiban. Kalau
kewajiban maka ada unsur HARUS. Kalau
ada unsur harus maka semua yang
mempunyai hak pilih harus memilih.
Konsekwensinya kalau tidak memilih maka
ada sanksi politis, sanksi hukum dan sanksi social. Sanksi politis, segala
urusan yang berhubungan dengan administrasi kependudukan dan lain-lain pasti
tidak dilayani. Sanksi hokum, tidak memilih berarti melanggar kewajiban dank arena itu harus dihukum. Sanksi social,
anda akan dikucilkan dari pergaulan masyarakat.
Untungnya memilih
pemimpin dalam sebuah perhelatan bertajuk Pilgub (atau Pilkada) bukan kewajiban tetapi hak. Maka kalau hak
berarti tergantung pada pemilih, mau menggunakan atau tidak menggunakan. Di
dalam hak itu ada pilihan bebas, boleh
menggunakan dan boleh tidak menggunakan. Tidak ada sanksi politis, sanksi hokum
dan sanksi social bagi pemilih yang
tidak menggunakan hak pilihnya.
Itulah sebabnya mengapa sampai detik
ini, sejak Pemilihan Kepala Daerah secara langsung diterapkan pada Pemilu Presiden 2004 silam, pemilih bebas memilih atau tidak
memilih. Bahkan prosentase golongan putih (Golput) cenderung menaik dari Pemilu
ke Pemilu. Belum pernah ada kelompok
yang terang-terangan menyatakan Golput masuk bui. Jadi menggunakan pilihan politik adalah hak.
Tidak menggunakan juga adalah hak. Orang tidak boleh ganggu gugat.
![]() |
Wayan Koster - Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati |
Mesti Bijak Sebagai WNI
Meskipun pilihan politik adalah hak,
yang bisa saja tidak menggunakan haknya itu tetapi sebagai warga Negara di sebuah Negara bangsa mempunyai tanggung jawab moral terhadap baik
buruknya Negara, mati hidupnya Negara, maju mundurnya Negara. Kemapanan social politik, social ekonomi, social budaya sebuah Negara tergantung dari rakyatnya yang
jeli memilih pemimpin-pemimpinnya.
Yang terjadi dari Pemilu ke Pemilu adalah orang-orang kritis, potensial, cerdas,
berwawasan nasional yang baik justru berada di teras yang disebut Golput alias
tidak mau memilih dan tidak mau dipilih. Orang-orang cerdas itu mengaku
muak dengan pemerintahan baik eksekutif,
legislative maupun yudikatif. Alhasil
yang duduk di eksekutif adalah orang-orang minimalis, demikian juga yang
duduk di legislative dan yudikatif.
Karena mereka memang tidak
berkualitas dari berbagai aspek baik
intelektual maupun moral maka kepemimpinannya cenderung menabrak
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada akhirnya yang mereka kejar adalah kesejahteraan pribadi, bukan
kesejahteraan umum.
Anehnya ketika
para pemimpin itu secara
intelektual dan moral sangat minimalis
sehingga mudah jatuh dalam godaan terutama godaan vulus maka dengan mudahnya mereka terjerumus dalam kancah korupsi. Lalu kita
rakyat bahkan terutama yang Golput itu lebih kencang mengeritik. Pada hal, dulu waktu Pilkada
ia tidak memilih.
Maka sebagai warga Negara yang baik,
harus bijak dalam menghadapi perhelatan politik. Memutuskan tidak memilih bukan keputusan yang bijak. Lebih baik
memilih yang terbaik dari yang buruk daripada tidak memilih sama sekali. Anehnya
baik yang memilih maupun tidak memilih
hak terhadap kesejahteraan social sama,
tak dibeda-bedakan.
Satu Pilihan, Dua Tawaran
Kita di Bali dipastikan akan memilih
pemimpin Bali 2018-2022 menggantikan Gubernur Made Mangku Pastika dan Wakil Gubernur Ketut Sudikerta. Dari goreng-goreng calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah maka tawaran politik kepada kita
adalah dua paket. Meskipun dua paket, kita tidak bisa memilih keduanya.
Jadi hanya satu pilihan pada dua
tawaran. Pemilih ditawarkan dengan paket
Rai Mantra-Sudikerta dan Wayan Koster-Cok Ace Sukawati.
Bisa saja terjadi bahwa kedua paket
ini tidak pas dengan selera kita. Maka
biasanya muncul niat untuk tidak memilih alias Golput. Golput
adalah hak, tetapi tidak bijak.
Maka andaikan saja kedua paket ini
menurut hati nurani anda tidak ada
yang berkualitas, maka tentukan saja
yang terbaik dari yang buruk. Sebab yang baik hanya turun dari surga yakni
malekat. Selama pemimpin diambil dari dunia ini, mereka tidak akan
pernah menjadi pemimpin yang sempurna. Tetapi
yakinlah bahwa mereka belajar
untuk menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Selamat menentukan pilihan.***
Posting Komentar