Tulisan
ini sekedar asal omong. Jadi jangan dipercaya. Tapi untuk direfleksikan boleh.
Ada sebuah negara menggelar pesta demokrasi pemilihan kepala desa,
bupati,walikota dan gubernur. Pemilihan serentak.
Maka
berlomba-lombalah orang mendaftar. Yang mantan camat ikut mendaftar. Yang
mantan bupati pun ikut mendaftar. Yang masih aktif di DPR rela meninggalkan
jabatannya demi menjadi kepala desa. Yang masih jadi menteri pun lengser demi
maju berkompetisi merebut jabatan yang sebetulnya
stratanya lebih rendah dari jabatan yang sedang diembannya.
Para mantan menteri, mantan tentara, mantan polisi, bahkan yang
masih aktif menjabat sebagai pemimpin di sebuah teritorial juga mundur demi
mengikuti Pemilihan. Pada hal jabatan yang sedang diembannya terhormat dan dari
aspek upah tentu tidak kecil.
Saya pribadi melihat ini sebuah fenomena. Soalnya, dulu orang
enggan mencalonkan diri. Kalau pun ada, karena dipaksa partai atau oleh
masyarakat. Sekarang, terbalik. Partai dituduh kong kaling kong, minta mahar,
dan lain-lain tuduhan kalau gagal di level pencalonan.
Sekarang rakyat tidak perlu cari calon tetapi calon yang datang
sendiri ke rakyat. Calon memanfaatkan berbagai event untuk sosialisasi diri.
Memanfaatkan mimbar rumah ibadah, pesta adat, kenduri orang mati dan
sebagainya.
Saya merasakan, ini fenomena serbuah era, dimana jabatan dilihat
bukan dari strata sosialnya, bukan dari penghasilan yang akan dia dapatkan
tetapi dari hitung-hitungan politis yang serba tersembunyi. Ini menurut saya.
Bagaimana menurut ANDA?***
Denpasar 18 Januari 2018.
Posting Komentar