Renungan Jelang Natura Ikada Bali
Oleh:
Stefanus Haryanto*
Perayaan Natal dan Tahun Baru bersama yang rutin setiap tahun
warga diaspora Ngada di Bali hendaknya dimaknai bukan sekedar sebuah pesta,
tetapi kita terpanggil untuk menanam bibit kepedulian antar kita. Momentum
Natal bersama Ikada yang tinggal menghitung hari kita rayakan, mengajak kita
kembali merefleksikan kepedulian kita terhadap orang miskin.
Kehadiran Yesus dalam rupa
roti dan anggur memang tidak dapat dimengerti terlepas dari relasi pribadi
dengan Yesus dalam iman. Karena iman, kita mengerti dan mengakui dengan sungguh
bahwa perjamuan yang diadakan Yesus bersama dengan para rasul mengantisipasi
dan sekaligus mengandung misteri paskah dari pengorbanan Yesus. Berkaitan
dengan peran sentral iman, Vatican II mengungkapkan suatu teologi bahwa kita
diselamatkan oleh iman dan sakramen-sakramen iman. Pernyataan ini mengandung
arti bahwa orang mesti memiliki iman yang hidup dan nyata akan Yesus Kristus
sebelum merayakannya.
Iman akan kehadiran Kristus
secara nyata bukan hanya realitas yang semestinya disembah dan dihormati tetapi
juga mengarah tindakan. Satu aspek istimewa dari misteri ekaristi adalah
perhatian terhadap orang-orang miskin. Hal ini menjadi istimewa karena Yesus
memang memandang dan memperhatikan orang miskin secara istimewa: "Ia hadir
dalam diri mereka yang tidak mempunyai makanan dan minuman, tidak mempunyai
tempat tinggal, orang asing, tahanan atau tidak mempunyai pakaian" (bdk.
Mat 42-43). Aspek spiritualitas dari ekaristi menuntut orang beriman yang
merayakannya menolong kaum miskin.
Kemiskinan memang merupakan
satu sisi kehidupan yang tidak menarik, tetapi sekaligus menjadi medan
pembuktian iman sejati. Dan kendati pun tidak bermaksud memberikan satu solusi
yang tepat guna, kepedulian terhadap kaum miskin tidak cukup dengan himbauan
untuk bertahan dalam penderitaan atau dengan mengemukakan janji kebahagian
eskatologis. Tetapi perjuangan orang Katolik, termasuk warga Ngada diaspora di
Bali, semestinya lebih menyeluruh menyangkut ketidakadilan; baik karena
tindakan sewenang-wenang, kekerasan, perampasan hak, penghancuran lingkungan
hidup dan masih banyak nilai-nilai yang sudah runtuh yang harus diperjuangkan.
Kepedulian terhadap orang
miskin menjadikan ekaristi terbias ke luar dari tembok-tembok gereja yang megah
ke setiap lorong kehidupan umat manusia. Duka cita karena kelaparan, kekerasan
dan pencaplokan hak adalah keadaan yang mencirikan kehidupan orang
miskin. Karena itu, yang menghormati dan menyembah Yesus Kristus yang
hadir secara real dalam ekaristi semestinya memiliki komitmen utuh untuk
memperdayakan kaum miskin terutama dalam konteks dunia yang semakin hedonistik
dan individualistik.
*)Alumni STFK Ledalero dan
Mantan Pemred Nuntia, Buletin Warta Paroki Katedral Denpasar.
Posting Komentar